MANAJEMEN KEUANGAN II
KEBIJAKAN DEVIDEN
KELOMPOK 6
Nama Kelompok :
Nama Kelompok :
1.
Fitriyatul
Machfudhoh (5130014005)
2.
Ian Rahman Primadya (5130014013)
3.
Ajeng Rima Nur Wahidiyati (5130014016)
4.
Nur Hidayatul Mas Ula (5230014005)
PRODI S1
MANAJEMEN DAN S1 AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2016
BAB I
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN DEVIDEN
Salah satu kebijakan
deviden yang harus diambil oleh manajemen adalah laba yang diperoleh oleh
perusahaan selama satu periode akan dibagi sebagian untuk deviden dan sebagian
lagi di bagi dalam laba ditahan.
Kebijakan deviden merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahan dengan keputusan pendanaan perusahaan. Secara
definisi Kebijakan Deviden adalah kebijakan untuk menentukan berapa laba yang
harus dibayarkan (deviden) kepada pemegang saham dan berapa banyak yang harus
ditanam kembali (laba ditahan).
Deviden adalah pendapatan
bagi pemegang saham yang dibayarkan setiap akhir periode sesuai dengan
persentasenya. Persentase dari laba yang akan dibagikan sebagai deviden kepada
pemegang saham disebut sebagai Deviden Payout Ratio (DPR)
Bambang Riyanto (2001: 281)
mendefinisikan kebijakan dividen sebagai “politik yang bersangkutan dengan
penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan
untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk
digunakan di dalam perusahaan (laba ditahan).
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003: 390)
kebijakan dividen adalah rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat
keputusan dividen.
Menurut Wetson dan Brigham (1990:198) kebijakan
dividen adalah keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna
diinvestasikan kembali di dalam perusahaan.
B. FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DEVIDEN
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya deviden yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham antara
lain :
1. Posisi
likuiditas Perusahaan
Likuiditas perusahaan
sangat besar pengaruhnya terhadap investasi perusahaan dan kebijakan pemenuhan
kebutuhan dana. Deviden bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin
besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan, akan semakin
besar kemampuan perusahaan untuk membayar deviden.
2. Kebutuhan
Dana Untuk Membayar Hutang
Apabila perusahaan
mengambil hutang untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan
yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan, yaitu perusahaan membiayai
hutang itu pada saat jatuh tempo atau menggantikan dengan jenis surat berharga
yang lain. Jika keputusannya membayar hutang tesebut, maka biasanya perlu untuk
menahan laba.
3. Tingkat
Ekspansi Aktiva
Semakin cepat suatu
perusahaan berkembang, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai ekspansi
aktivanya, perusahaan cenderung untuk menahan laba daripada membayarkannya
dalam bentuk deviden.
4. Stabilitas
Laba
Suatu perusahaan yang
mempunyai laba stabil sering kali dapat memperkirakan berapa besar laba dimasa
yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan “DPR”
yang tinggi, daripada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Deviden yang lebih
rendah akan mebih mudah untuk dibayar apabila laba menurun pada masa yang akan
datang.
C.
TEORI – TEORI KEBIJAKAN
DEVIDEN
1.
Dividen irrelevance Theory
(Dividen Tidak Relevan)
Beberapa kalangan
berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh terhadap harga
saham perusahaan maupun terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan dividen tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan.
Pendukung dari tidak relevannya kebijakan dividen adalah Modigliani-Miller
(MM). Mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak
mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut MM
berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dan asset
perusahaan tersebut. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh
keputusan investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan
dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
MM menyatakan bahwa dividen
tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
a) Pasar
modal sempurna, di mana para investor mempunyai kesamaan informasi, tidak ada
biaya transaksi dan tidak ada pajak.
b)
Para investor bersifat
rasional.
c)
Semua peserta pasar
bersifat price-taker.
d) Adanya unsur ketidakpastian
bagi arus pendapatan masa datang dan para investor mempunyai informasi yang
sama
e) Manajer dalam pengambilan
keputusannya mengenai produksi dan investasinya disesuaikan dengan informasi
tersebut.
f) Untuk memisahkan pengaruh
dividen dan pengaruh leverage, maka semua perusahaan dianggap memiliki
rasio D/S sama.
g)
Perusahaan-perusahaan
semestinya memiliki kelas risiko yang sama.
2. Teori
Bird in The Hand
Teori ini dikemukakan oleh
Myron Gordon (1959) dan John Lintner (1956) yang berpendapat bahwa ekuitas atau
nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan, karena
para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital
gain) yang dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para
investor menerima dividen. Gordon dan Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor
jauh lebih menghargai pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada
pendapatan yang diharapkan dari keuntungan modal.
MM dalam hal ini tidak
setuju bahwa ekuitas atau nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan
dividen, yang menyiratkan bahwa investor tidak peduli antara dividen dengan
keuntungan modal. MM menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan bird-in-the-hand,
yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor memandang satu burung di
tangan lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Dengan demikian,
perusahaan yang mempunyai dividend payout ratio yang tinggi akan
mempunyai nilai perusahaan yang tinggi pula.
Namun menurut pandangan MM,
kebanyakan investor merencanakan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka
dalam saham dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam
banyak kasus, tingkat risiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam
jangka panjang hanya ditentukan oleh tingkat risiko arus kas operasinya, bukan
oleh kebijakan pembagian dividen.
3. Teori
Preferensi Pajak
Ada tiga alasan yang
berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai
pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
a) Keuntungan modal dikenakan
tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk itu investor yang
kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan menahan
dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin
dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya
rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.
b)
Pajak atas keuntungan tidak
dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai waktu.
c) Jika selembar saham
dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan
modal yang terutang.
Karena adanya
keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan
menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikia para investor akan mau
membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah
daripada untuk perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
D. JENIS-JENIS
DIVIDEN
Menurut Zaki Baridwan
(1993) deviden yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam beberapa
jenis, yaitu:
1.
Dividen tunai (cash
dividen),
yaitu dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan dikenai pajak
pada tahun pengeluarannya. Dividen ini yang paling umum dan banyak digunakan
dalam pembagian saham.
2.
Dividen saham (stock
dividen),
yaitu dividen yang dibagikan perusahaan
kepada para pemegang saham dalam bentuk saham perusahaan sehingga jumlah saham
perusahaan menjadi bertambah. Jadi, pemberian stock dividen ini
dilakukan dengan cara mengubah sebagian laba ditahan (retained earnings)
menjadi modal saham yang pada dasarnya tidak mengubah jumlah modal sendiri.
Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu karena perusahaan
tidak perlu mengeluarkan uang tunai. Peristiwa ini dilakukan jika posisi
kas perusahaan atau likuiditas diperlukan oleh perusahaan. Investor dalam hal
ini akan memiliki lebih banyak saham tetapi laba per lembar saham lebih rendah.
Proporsi pemilikan investor tidak mengalami perubahan.
Contoh:
PT
Abadi memiliki struktur modal sebagai berikut:
ð Saham biasa (nominal Rp 1000 : 3 000
000 lembar) = Rp 3 000 000 000
ð Capital surplus =
Rp 1 500 000 000
ð Laba ditahan =
Rp 7 500 000 000
ð Modal sendiri =
Rp 12 000 000 000
ð Perusahaan menentukan stock dividend
sebesar 10%.
ð Harga pasar saham Rp 4.000,-
Bagaimanakah komposisi modal sendiri
setelah stock dividend?
Jawab:
ð Stock dividend 10%
Maka ada tambahan saham sebanyak 10%
x 3 000 000 = 300 000 lembar.
ð Stock deviden = 300 000 x Rp 4.000,-
= Rp 1.200.000.000,-
ditransfer dari laba ditahan ke
saham biasa dan capital surplus.
a) Nilai nominal saham tidak berubah,
maka 300 000 lembar x Rp 1000 = Rp 300.000.000, ditransfer ke modal saham
biasa.
b) Sisanya Rp 1 200 000 000 – Rp 300
000 000,- = Rp 900 000 000,- dimasukkan dalam capital surplus, sehingga total
modal sendiri tidak berubah.
c) Setelah stock dividend maka
komposisi modal sendiri PT Abadi :
ð Saham biasa (nominal Rp 1000 ; 3 300
000 lembar) = Rp 3 300 000 000
ð Capital surplus =
Rp 2 400 000 000
ð Laba ditahan = Rp 6
300 000 000
ð Modal sendiri =
Rp 12 000 000 000
Stock dividend meningkatkan jumlah saham yang beredar,
sehingga laba per saham (EPS) akan menurun secara proporsional. Jadi para
pemegang saham mempunyai jumlah lembar saham yang bertambah, tetapi mempunyai
EPS yang berkurang, sehingga proporsi keuntungan totalnya tetap tidak berubah.
Pembagian stock dividen akan menurunkan harga saham sehingga tidak memberikan
manfaat ekonomis, kalau kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba tidak
berubah, demikian juga dengan biaya modalnya.
Bagaimanapun, harga saham akan dipengaruhi oleh kemampuan
memperoleh laba dan resiko perusahaan
(yang tercermin dalam biaya modalnya). Kedua factor
tersebut tidak bisadimanipulasi oleh manajer
keuangan. Manajer keuangan tidak bisa menyebabkan pemegang saham menjadi lebih
kaya hanya karena memutuskan untuk membagikan stock dividend. Umumnya
perusahaan memutuskan untuk membagikan stock dividend, karena mereka memerlukan
dana tersebut, dan tidak ingin mengecewakan pemegang saham.
3. Pemecahan Saham (Stock Split)
Stock split adalah pemecahan nilai nominal saham ke dalam
nilai nominal yang lebih kecil. Pemecahan saham lama ini menjadi beberapa saham
baru, akan menyebabkan jumlah saham yang beredar bertambah. Tujuan stock split
adalah untuk menempatkan harga pasar saham dalam trading range tertentu.
Contoh:
PT
Abadi menentukan stock split dari satu menjadi dua saham. Komposisi modal
sendiri
perusahaan
adalah sebagai berikut:
ð Saham biasa (nominal Rp 5000 ; 600
000 lembar) = Rp 3.000 000
ð Capital surplus =
Rp 1.500 000
ð Laba ditahan = Rp
7.500 000
ð Modal sendiri =
Rp12.000 000
Setelah
stock split, komposisi modal sendiri menjadi:
ð Saham biasa (nominal Rp 2500 ; 1 200
000 lembar) = Rp 3.000 000
ð Capital surplus =
Rp 1.500 000
ð Laba ditahan = Rp 7
500 000
ð Modal sendiri =
Rp12.000 juta
Setelah stock split, nilai nominal saham menjadi ½ X Rp 5
000 = Rp 2500 per lembar. Investor yang semula memiliki 100 lembar saham
setelah stock split jumlah saha, yang dimilikinya menjadi 2 X 100 lembar = 200
lembar, meskipun total nilainya tidak mengalami perubahan. Kekayaan investor
tidak berubah, sehingga tidak ada keuntungan ekonomis yang diperolehnya dari
stock split.
Jadi
ada persamaan antara Stock Devidend dan Stock Split, yaitu:
1.
Tidak ada pendistribusian kas dalam kedua bentuk itu.
2. Mengakibatan jumlah lembar saham
yang beredar meningkat.
3. Total modal sendiri (net worth)
tidak berubah, tetapi hanya
4. komposisinya saja yang berubah.
4. Pembelian Kembali Saham (Repurchase
Of Stock)
Sebagai akternatif pemberian deviden berupa uang tunai,
perusahaan dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan
cara membeli kembali saham perusahaan (repurchasing stock). Saham yang
dibeli kembali itu akan dibukukan sebagai perkiraan Treasury Stock. Dengan
dibelinya kembali sebagian saham, maka jumlah saham yang beredar akan
berkurang, bila diasumsikan pembelian kembali saham ini tidak memberi
pengaruh negative terhadap keuntungan perusahaan, maka EPS akan meningkat,
yang akan, meningkatkan harga pasar saham. Kenaikan harga pasar saham
itu akan memberikan capital gains sebagai ganti deviden kepada para
pemegang sahamnya.
Contoh:
PT Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri
manufaktur yang memproduksi produk-produk perlengkapan busana wanita dan
pria. Pada tahun 2005 memperoleh laba sebesar Rp 550 juta dan 50% dari
jumlah tersebut akan dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk
pembelian kembali saham.
Jumlah saham yang beredar saat ini adalah sebanyak
1.100.000 lembar dengan harga pasar sebesar Rp 2.500,- per lembar saham.
Manajer keuangan saat ini menawarkan kepada mereka yang mau menjual
kembali saham biasa yang dimilikinya seharga Rp 2.750,- jadi
seolaholah menawarkan cash dividend Rp 250 per lembar saham. Berdasarkan
data tersebut.
carilah:
a. laba per saham dan PER sebelum kebijakan pembelian kembali saham
a. laba per saham dan PER sebelum kebijakan pembelian kembali saham
b.
laba per saham setelah kebijakan pembelian kembali
saham
c. harga saham setelah kebijakan pembelian kembali saham dengan asumsi PER konstan.
c. harga saham setelah kebijakan pembelian kembali saham dengan asumsi PER konstan.
Jawab:
ð EAT = 550 juta Payout Ratio 50%
ð Outstanding share = 1,1 juta
ð P saham = Rp 2500 /
lembar
ð P treasury stock = Rp 2750 /
lembar
a. Sebelum kebijakan pembelian
saham:
EPS = Rp.550,- juta / 1,1 juta = Rp 500
/lembar
PER = 2500 / 500 = 5 EPS
b. Setelah kebijakan pembalian kembali
saham:
EAT untuk treasury stock = ½ x Rp.550,- juta = Rp.275,- juta
Jumlah saham yang dapat ditarik kembali = 275 juta / 2750 = 100 000 lembar
EPS = Rp.550,- juta / 1 juta = Rp 550,- / lembar
EAT untuk treasury stock = ½ x Rp.550,- juta = Rp.275,- juta
Jumlah saham yang dapat ditarik kembali = 275 juta / 2750 = 100 000 lembar
EPS = Rp.550,- juta / 1 juta = Rp 550,- / lembar
c. P saham = PER x EPS =
= 5 x Rp 550,- = Rp 2.750,-
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kebijakan dividen
adalah kebijakan pembagian pendapatan yang harus diikuti dalam membuat
keputusan dividen (dibagikan/ditahan).
Kebijakan
dividen merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh
manajemen dalam mengelola perusahaan. Hal ini karena kebijakan dividen memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap banyak pihak, baik perusahaan yang dikelola
itu sendiri, maupun pihak lain seperti pemegang saham dan kreditur.
B.
SARAN
Dalam
mempelajari materi dividen ini penyusun menyarankan selain menguasai
pengertian, konsep, kebijakan, pendekatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
dividen, perlu juga memperingatikan dua aspek berikut ini.
Pembagian
dividen oleh manajemen harus didasari dengan pertimbangan yang seksama, yaitu
dengan memperhatikan sekurang-kurangnya aspek keuangan dan aspek
hukum. Aspek keuangan wajib diperhatikan karena pembagian dividen tidak
dapat dilepaskan dari faktor-faktor keuangan yang antara lain mencakup
kemampuan keuangan perusahaan, proyeksi usaha perusahaan dan harapan pemegang
saham secara ekonomi untuk mendapatkan tingkat pengembalian dari investasi
mereka. Aspek hukum wajib diperhatikan karena pembagian dividen harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku.
Meskipun tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan pemegang saham.
DAFTAR PUSTAKA
Izin untuk save sebagai materi belajar ya ...
BalasHapusizin untuk men save sebagai materi belajar ya baba/ibu :)
BalasHapus